Sabtu, 15 Oktober 2011

Pembentukan Konsep Dalam Psikologi Kognitif


PEMBENTUKAN KONSEP

Pengertian Konsep
Menurut Hulse, Egeth dan Deese (1981) sebagai sekumpulan atau seperangkat sifat yang dihubungkan oleh aturan-aturan tertentu. Suatu sifat merupakan setiap aspek dari sesuatu objek, atau kejadian  yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan objek atau kejadian yang lain.  Solso (1986) mendefinisikan bahwa konsep menunjukan pada sifat-sifat umum yang menonjol dari satu kelas objek atau ide.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pembentukan konsep adalah suatu proses pengelompokan atau mengklasifikasikan sejumlah objek, peristiwa, atau ide yang serupa menurut sifat-sifat atau atribut-nilai tertentu yang dimilikinya kedalam satu kategori (Martin dan Caramazza, 1980). Misalnya seseorang mengelompokan sebuah meja, kursi,  dan sofa kedalam kategori perabot rumah atau furniture.
Alasan-alasan Pembentukan Konsep.
                Orang-orang sering membentuk kategori-kategori tertentu terhadap objek-objek yang berada disekelilingnya. Menurut Anderson (1991) setidak-tidaknya terdapat tiga pandangan mengenai asal mula kategori tersebut dibuat orang yaitu:
1.      Segi bahsa atau linguistic
2.      Sifat-sifat yang tumpang tindih atau feature overlap
3.      Fungsi yang serupa atau similiarfunction.
Pandangan dari segi bahasa beranggapan bahwa pemberian label bahasa dapat menyediakan isyarat yang menunjukan adanya suatu kategori dan orang-orang belejar mengidentifikasi isyarat itu.
Menurut pandangan feature overlap, orang-orang menyadari bahwa sejumlah objek memiliki sifat-sifat yang tumpang tindih antara satu dengan yang lain dan karena itu perlu dibentuk suatu kategori yang dapat mencakup semuanya. Pandangan ini telah dibuktikan pada penelitian Fred dan Holyoak (1984) yang menemukan bahwa orang-orang dapat  mempelajari kategori-kategori tanpa label  bahasa.
Pandangan yang menekankan pada keserupaan fungsi berasumsi bahwa orang-orang menyadari adanya sejumlah objek disekitarnya yang memang memberikan fungsi-fungsi serupa dan memungkinkan mereka membentuk suatu kategori untuk mencakup semuanya. Misalnya tempat duduk dan yang bukan dan yang berkaki empat dan yang bukan, adalah contoh-contoh suatu kategori.

PROSES PEMBENTUKAN KONSEP

                Berkaitan dengan proses pembentukan konsep, ada dua pandangan pokok yaitu pandangan klasik dan pandangan modern.
Pandangan Klasik
            Pembentukan konsep merupakan suatu proses penemuan atribbut-atribut atau sifst-sifat penting dan menonjol pada sejumlah objek dan penyimpulan seperangkat aturan berdasarkan atribut-atribut itu (Tennyson, Youngers dan Suebsonthi, 1983; Solso, 1988).  Contoh warga Negara Amerika Serikat adalah seseorang yang dilahirkan di Amerika Serikat, atau dilahirkan diluar negri oleh orang tua amerika serikat.
Pandangan Modern
                Pembentukan konsep mencakup dua tahapan proses:
a.       Mula-mula seseorang membentuk representasi informasi (di dalam ingatan) mengenai kelas konsep yang diberikan.
b.      Mengembangkan keterampilan kognitif yang dibutuhkan bagi penggunaan informasiyang telah direpresentasikan untuk mengevaluasi dimensi-dimensi khusus, baik kesamaan maupun perbedaan  diantara contoh-contoh baru (Tennyson, Youngers dan Suebsonthi, 1983).
Hasil penelitian Tennyson, dkk. (1981, 1983) yang antaralain menggunakan konsep matematis menujukan  bahwa tugas-tugas pembentuka konsep memang mencakup dua tahapan proses; Pembebntukan prototype dan pengembnagan keterampilan klasifikasi melalui generalisasi dan diskriminasi. Demikian juga pendapat Winkel (1991) bahwa belajar pada pembentukan  konsep meliputi kemampuan untuk mengadakan generalisasi dengan mengelompokan objek-objek yang mempunyai satu atau lebih ciri yang sama atau disebut abstraksi. Tennyson dan kawan-kawan juga menemukan bahwa melalui cara menghadirkan contoh-contoh yang paling baik dari suatu konsep dan disertai definisinya, dapat lebih mempermudah seseorang anak membentuk prototype, daripada dengan cara menunjukan definisi dan disertai dengan pernyataan penjelasan hubungan diantara atribut-atribut kritis.
Aturan Pembentukan Konsep
Belajar kosep dilakukan dengan sejumlah aturan atau cara-cara menurut logika yang menggabungkan sifat-sifat objek sehingga membentuk konsep-konsep. Aturan-aturan logika yang digunakan pada umumnya meliputi lima macam: Afirmatif, konjungtif, disjungtif-inklusif, kondisional dan bikondisional (Solso, 1988)

Nama Aturan
Deskripsi konsep Secara Verbal
1.      Afirmatif atau atributif
Semua objek yang berwarna merah adalah contoh-conto konsep.
2.      Konjungtif
Semua objek yang berwarna merah dan juga berbentuk segiempat adalah contoh-contoh konsep.
3.      Disjungsi-inklusif
Semua objek yang berwarna merah atau berbentuk segiempat adalah contoh-contoh konsep
4.      Kondisional
Jika suatu objek berwarna merah, maka harus segi empat. Ini merupakan contoh konsep.
5.      Bikondisional
Objek-objek yang berwarna mera merupakan contoh-contoh konsep jika dan hanya jika berbentuk segiempat; objek-objek berwarna merah yang bukan segiempat atau segiempat yang bukan berwarna mera adalah bukan contoh-contoh konsep.
Dikutip dari Ellis dan hunt (1993)

                Suatu konsep didefinisikan secara afirmatif atau atributif jika konsep itu memiliki nilai atau sifat khusus pada dimensi tertentu. Hal ini telah banyak dikenal dalam kehidupan sehari-hari misalnya defenisi tentang ”bilangan genap”, yaitu suatu bilangan yang dapat dibagi dua sacara tepat.
            Suatu konsep didefinisikan secara konjungtif apabila contoh-contoh konsep memiliki dua kondisi sekaligus. Cpontoh,  calon presiden Indonesia  adalah setiap warga Negara Indonesia dan berusia 35tahun. Jika hanya memiliki salah satu, maka tidak termasuk konsep konjungsi.
            Konsep didefinisikan secara Disjungsi-inklusif jika contoh-contoh dari suatu konsep ditemukan memiliki salah satu dari dua kondisi atau sekaligus keduanya.  Contoh seorang psikolog adalah anggota fakultas Psikologi atau anggota ikatan sarjana psikologi Indonesia, maka ia termasuk contoh konsep.
            Aturan kondisional adalah ketentuan yang menetapkan  bahwa sesuatu itu dianggap sebagai atribut yang benar atau relevan tergantung pada keberadaan atribut lainya. Contoh jika ada gelas minuman tamu pelanggan yang kosong,  maka pelayan yang penuh perhatian akan segera mengisinya. Jadi apabila ada gelas minuman yang kosong kemudian diisi, maka pelayanan itu berarti penuh perhatian.  Apabila tidak ada gelas gelas minuman dari tamu pelanggan yang kosong maka pelayan tersebut tetap dianggap penuh perhatian.
            Aturan bikondisional juga dikenal sebagai ekuivalensi atau persamaan didalam logika. Contoh “Prilaku yang wajar”; adalah wajar untuk tertawa jika dan hanya jika sesuatu yang diucapkan atau dilakukan memang lucu. Hal ini berarti bahwa seseorang dianggap wajar untuk tertawa jika sesuatu yang lucu terjadi. Juga, dianggap wajar orang tidak tertawa jika dan hanya jika sesuatu yang diucapkan atau dilakukan orang lain tidak lucu. Namun demikian seseorang akan dianggap tidak wajar untuk tertawa jika sesuatu yang lucu tidak terjadi. Ellis dan Hunt (1993) memberikan contoh, tindakan menyalakan AC di ruangan dilakukan jika dan hanya jika udara panas adalah merupakan contoh dari aturan bikondisional.

Jenis-Jenis Konsep
Konsep logis
                Konsep logis atau disebut juga konsep buatan digunakan dalam tugas belajar konsep dengan menghadirkan kepada subjek berbagai macam pola stimulus yang tidak biasa dialami didalam lingkungan sehari-hari.  Stimulus dikonstruksi begitu sistematik sehingga memiliki dimensi-dimensi tertentu yang sangat jelas.
Konsep Alami.    
Ciri-ciri yang membedakan antara konsep logis dengan konsep alami ialah bahwa atribut-atribut  yang membedakan diantara konsep-konsep  alami tidak dapat dibatasi secara tegas. Juga tidak ada aturan-aturan khusus yang digunakan untuk mengkategorikan objek-objek alami kedalam konsep-konsep tertentu. Dengan kata lain konsep alami memiliki definisi yang cacat atau ill-defined (Martin dan Caramazza, 1980). Berdasarkan hasil penelitian, Reed (dalam martin dan Caramazza, 1980) menyimpulkan bahwa tidak ada aturan logika sederhana yang digunakan orang  untuk menghubungkan  ciri-ciri umumsejumlah objek alami, sehingga menjadi kategori tertentu. Jadi objek-objek alami diklasifikasikan menurut prototipenya atau prototypical concept.
Jadi baik baik bosner dan keck, maupun Reed (dalam martin dan Caramazza, 1980) menemukan bahwa apabila kepada subjek dihadirkan sejumlah stimulus yang tidak dimungkinkan untuk digunakan beberapa aturan yang jelas, maka subjek akan cenderung mengabstrasikan satu bentuk prototype bagi suatu kategori. Pada prinsipnya subjek berusaha mengembangkan pengujian terhadap seperangkat ciri, sehingga memungkinkan ia mengklasifikasikan contoh-contoh itu.
Selain konsep lpgis dan alami seperti dibahas didepan, Winkel (1991) juga membedakan konsep menjadi dua macam, yaitu konsep konkret dan konsep yang didefinisikan.  Biasanya pembedaan konsep ini dapat dijumpai didalam praktek pendidikan-pengajaran di sekolah.
Konsep Konkret
            Konsep konkret adalah pengertian yang menunjukan pada objek-objek didalam lingkungan pisik. Konsep konkret mewakili golongan benda tertentu seperti meja, kursi dan pohon. Konsep konkret diperoleh melalui pengamatan terhadap lingkungan pisik, yang berbeda. Biasanya, sampai dengan usia 10 tahun anak akan banyak belajar konsep konkret ini.

Konsep yang Didefinisikan
                Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas seperti objek-objek konkrit, karena realitas itu tidak berbadan.  Misalnya, anak A adalah saudara sepupu dari anak B. Ini adalah kenyataan, tetapi tidak dapat diketahui dengan mengamati langsung anak A dan anak B saja. Kenyataan ini diberitahukan melalui penggunaan bahasa dan sekaligus dijelaskan apa yang dimaksud dengan “saudara sepupu”. Konsep yang didefinisikan diajarkan tanpa ada kemungkinan untuk menunjukan dua orang bersaudara  sepupu, hanya dengan mengamati pisik edua orang itu. Konsep yang demikian, biasanya telah dituangkan didalam bentuk definisi, maka timbullah istilah konsep yang didefinisikan.
Strategi Belajar Konsep
                Suatu  aspek penting mengenai bagaimana orang-orang melakukan belajar konsep ialah terletak pada cara-cara mereka melakukan tugas sehingga sehingga menemukan konsep, Bruner, dkk. (dalam Hulse,dkk.,1981). Strategi yang digunakan dalam belajar konsep meliputi scanning dan focusing yang masing-masing  terdiri dari dua bagian (Solso, 1988).
Strategi Scanning
                Simultaneous Scanning. Subjek memulai dengan  semua kemungkinan hipotesis, kemudian membuang hipotesis-hipotesis yang tidak dapat dipertahankan.
            Successive scanning. Di dalam strategi ini subjek memulai dengan satu hipotesis, dan mempertahankanya apabila ia berhasil. Jika tidak berhasil maka ia mengybahnya dengan hipotesis yang lain berdasarkan semua pengalaman terdahulu.
Strategi Focusing     
            Conservatine focusing. Subjek mula-mula merumuskan hipotesis, dilanjutkan dengan memilih suatu contoh positif yang menjadi titik perhatianya, kemudian membuat urutan rumusan kembali (masing-masing hanya mengubah satu ciri). Setelah itu, ia mencatat mana yang dianggap contoh positif dan mana yang negative.
            Focus Gambling. Strategi ini dicirikan oleh perubahan lebih dari satu sifat khusus pada suatu saat.
            Semua strategi yang diutarakan di atas, diantaranya yang dianggap paling efektif adalah strategi conservative focusing; tekhnik scaning hanya memberikan hasil yang cenderung sedang-sedang saja (Hulse, Egeth dan Deese, 1981; Solso, 1988). Secara umum, strategi focusing lebih berhasil dan efisien daripada scanning.Salah satu kelemahan dari strategi kerja  scanning ialah terlalu banyak menuntut kerja memori seseorang, sehingga terjadi pemaksaan kognitif yang oleh Bruner dkk (dalam Eysenck, 1984) disebut dengan cognitive strain.

Teori Pembentukan Konsep
                Ada beberapa teori mengenai pembentukan konsep, yaitu teori asosiasi, pengujian hipotesis, model pemrosesan informasi dan pandangan eklektif (Hulse, dkk; 1981).
Teori Asosiasi
                    Teori yang mula-mula dikembangkan untuk menerangkan prilaku individu didalam eksperimen belajar konsep ialah didasarkan atas pandangan mengenai peristiwa belajar melalui asosiasi. Teori asosiasi menerangkan bahwa belajar konsep  sebagai suatu proses asosiasi respons-respons yang muncul selama belajar dengan contoh-contoh yang mendefinisikan konsep.
                    Solso (1988) mengakatan bahwa model dasar dari belajar asosiasi adalah berprinsip pada hubungan stimulus respons (S-R). Jadi prinsip ini memiliki anggapan dasar bahwa belajar konsep merupakan hasil:
1.      Penguatan pasangan yang benar mengenai suatu stimulus misalnya kotak merah, dengan respons yang beridentifiksikan sebagai suatu konsep.
2.      Tanpa penguatan (seperti bentuk hukuman) terhadap pasangan yang tidak benar tentang stimulus, (misalnya lingkaran merah) dengan respons yang mengidentifikasikanya sebagai suatu konsep.
                    Pada prinsipnya suatu konsep dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari sederetan contoh yang masing-masing memiliki baik atribut-atribut yang relevan maupun tidak relevan. Jadi menurut Ellis dan Hunt (1993) dan Hulse, Egeth dan Deese (1981) proses pembentukan konsep serupa dengan belajar diskriminasi antara isyarat yang relevan dengan yang tidak relevan dikembangkan secara bertahap.
                    Pada akhirnya teori asosiasi mengalami perubahan dengan diperkenalkan konsep mediasi atau perntaraan oleh penganut aliran behaviorisme modern (Hayes, 1978). Teori mediasi beranggapan bahwa konsep-konsep dibentuk karena respon mediasi terhadap stimulus yang menjadi contoh. Misalnya nasi, keju dan daging semuanya merupakan anggota dari konsep makanan dan bukan karena sifat-sifat fisiknya, tetapi karenasemua contoh itu menghasilkan suatu respon mediasi yang umum. Dengan demikian, yang pentingari teori mediasi ini adalah bahwa pembentukan konsep sebagailangkah intevening, berada diantara stimulus dan reespons, dan bukan suatu asosiasi langsung antara atribut yang relevan dari stimulus dengan respons nyata.



Teori Pengujian Hipotesis
            Teori pengujian hipotesis dalam belajar konsep menekankan bahwa manusia cenderung menyusun dan menguji coba berbagai hipotesis. Menurut Hulse, Egeth dan Deese (1981) diasumsikan bahwa prilaku seseorang senantiasa di bombing oleh beberapa hipotesis.
            Secara umum asumsi-asumsi yang mendasari teori pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:
1.      Hipotesis yang dimiliki seseorang dapat mengendalikan prilaku aktualnya.
2.      Seseorang mengambil sampel dari serangkaian hipotesis yang tersedia.
3.      Proses belajar berlangsung secara keseluruhan, atau tidak sama sekali(all-or-none) (Hayes-Roth, 1977). Menurut pandangan ini, setetelah seseorang mencoba menguji hipotesis yang ternyata benar pada sampel pertama, maka ioa tidak akan lagi membuat kesalahan.
4.      Pengambilan sampel ulang dari tempat yang sama lalu diambil lagi sampel dari tempat yang sama sebagai penggantinya. Sebab, diasumsikan bahwa tidak ada memori bagi hipotesis penggantinya, dan pengujian hanya pada satu hipotesis pada suatu saat sehingga hal ini membuat para ahli masi terus mengadakan percobaan guna mengembangkan teori pengujian hipotesis (Ellis dan Hunt, 1993).

Teori Pemrosesan Informasi
            Pengembangan computer telah menghasilkan suatu tekhnik baru untuk menganalisis fenomena mental-model pemrosesan-informasi dan telah menyediakan cara-cara yang sangat objektif bagi pengujian model tersebut, seperti simulasi computer. Hal ini tidak berarti bahwa computer berpikir seperti manusia, tetapi melalui suatu program tertentu maka computer bisa melakukan beberapa keahlian seperti yang dilakukan oleh manusia (Hulse, dkk.,1981)
Usaha pertama kali untuk menghasilkan program computer yang memungkinkan mesin computer mempelajari konsep-konsep adalah dilakukan oleh Hovland dan Hunt (Hulse,dkk.,1981). Model program yang mereka buat secara umum disebut sebagai model pemrosesan-informasi tentang belajar konsep, yaitu persepsi, definisi tentang contoh-contoh positif dan pengembangan pohon keputusan atau decision trees.
Titik kritis dari program belajar konsep adalah mengembangkan metode untukmenemukan konsep-konsep. Hunt mencirikan aktivitas ini sebagai pemilihan contoh-contoh positif. Ia menggunakan strategi pemilihan contoh-contoh yang merupakan hal penting dalam strategi pemutusan perhatian atau focusing. Aturan-aturan logika mendefinisikan konsep-konsep yang dipelajari melalui pengembangan pohon keputusan. Pohon keputusan dapat dicirikan sebagai suatu rencana untuk menerangkan keputusan lanjutan.

Taraf Perkembangan Konsep
Terdapat empat taraf perkembangan konsep-konsep yang dialami indifidu (chauna, 1978). Taraf-taraf ini tampak tersusun menurut tingkat perkembangan kognitif yang dicapai oleh individu, terutama teori perkembangan yang diusulkan oleh piaget (dalam DeCecco dan Crawford, 1977; Solso, 1988).
Taraf Konkret
            Individu telah mencapai tingkat konkret apabila ia mengenal atau mempersepsi suatu objek yang telah ditemukan pada waktu sebelumnya. Langkah pertama dalam pencapaian taraf ini ialah menghampiri suatu objek mempresentasikanya secara internal. Woodruf (dalaChauan, 1978) menulis tentang perkembangan konsep oada taraf ini. Semua belajar dimulai dengan beberapa bentuk hubungan personal dengan objek, peristiwa, atau situasi yang nyata. Mula-mula indifidu menaruh perhatian kepada sejumlah objek melalui gelombang sinar, suara atau kontak langsung dengan sensori organ tubuh, kemudian suatu kesan dikumpulkan dan disimpandalam pikiranya. Tahap konkrit ini umumnya dialami oleh bayi-bayi berusia beberapa bulan atau satu tahun, meskipun mereka belum berkembang pada aspek bahasanya. (Solso, 1988).
Taraf Identitas
            Pada taraf ini suatu konsep dicapai ketika seseorang mengenal sesuatu objek yang serupa dengan apa yang pernah ditemukan sebelumnya. Ketika seseorang anak menggenerealisasikan ciri-ciri khusus objek dalam perspektif yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa ia telah mencapai konsep pada taraf identitas ini. Pembentukan konsep pada tarap konkrit hanya melibatkan pembedaan suatu objek dari yang lain, tetapi pada taraf identitas melibatkan berbagai bentuk pembedaan objek yang sama dari objek-objek lain dan juga menggeneralisasikanya (Chahan, 1978).
Taraf Klasifikasi
            Taraf kalsifikasi yang paling rendah dicapai ketika individu mulai sanggup belum mampu menggambarkan alasan dasar bagi responya itu. Pada waktu melihat seekor anak kuda milik tetangga dan keluarganya lalu anak itu mengatakan bahwa keduanya adalah binatang kuda, maka berarti ia telah menemukan suatu konsep pada taraf klasifikasi.


Taraf Formal
            Konsep pada taraf formal telah dicapai apabila indifidu dapat memberi nama suatu konsep baik nama intriksinya maupun pendefinisian atribut-atribut yang dapat diterima oleh masyarakat dan secara tepat dapat memberi contoh-contoh mana objek yang memiliki atribut-atribut tersebut dan mana yang tidak. Juga ia dapat menyatakan alas an yang menjadi dasar dari pendefinisianya. Jadi aspek yang menonjol dalam taraf formal adalah kesanggupan indifidu untuk menyebut satu persatu, memberikan atribut definitifnya dan membedakan diantara contoh-contoh konsep atas dasar ada atau tidak adanya atribut-atribut definitive tersebut.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar kosep
            Proses belajar konsep dan kategori dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah faktor tugas, atribut, umpan balik, bahan atau materi dan perbedaan indifidu.
Tugas
            Menurut pendapat Ellis dan Hunt (1993) ada tiga faktor dari sesuatu tugas yang mempengaruhi bagaimana individu membentuk konsep-konsep. Tiga faktor ini adalah meliputi; contoh-contoh positif sebagai kebalikan dari contoh-contoh negative, atribut-atribut yang relevan dan tidak relevan dan umpan balik, dan juga termasuk konteks bahasa.
            Pertama, penggunaan contoh-contoh positif dan kebalikanya contoh-contoh negative dalam belajar konsep, keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda. Secara umum jawaban yang diberikan subjek lebih cepat belajar konsep melalui contoh-contoh yang negative meskipun ini tidak mutlak. Salah satu alas an adalah manusia cenderung menyukai contoh-contoh positif yang kebanyakan dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
            Kedua, jumlah atribut yang relevan dan tidak relevan juga mempengaruhi tingkat kemudahan belajar konsep. Makin banyak jumlah atribut tambahan yang relevan, maka belajar konsep menjadi lebih cepat. Sebaliknya, makin bertambah jumlah sifat yang tidak relevan makin sulit belajar konsep dilakukan.
            Ketiga, umpan balik adalah salahsatu faktor yang sangat penting didalam proses belajar konsep, karena dapat menyediakan informasi terhadap kebenaran atau keslahan hipotesis yang digunakan indifidu.
            Konteks bahasa juga mempengaruhi penilaian individu terhadap suatu kategori. Konteks bahasa ini dapat mempengaruhi cara individu mengklasifikasikan objek-objek demikikan hasil penelitian Labov (dalamEllis dan Hunt, 1993; Felder, 1986). Namun demikian, hasil penelitian yang dilakukan felder (1986) menunjukan bahwa penilaian yang didasrkan atas relasi diantara objek-objek kategori dilakuklan lebih cepat daripada konteks bahasa.
Gambar da Kata-Kata
            Sejumlah penelitian menemukan bahwa gambar-gambar dikategorikan lebih cepat daripada sebutan nama-namanya. Ternyata hal ini tidak konsisten dengan hasil beberapa hasil penelitian berikutnya ( Snodgross, 1986), sehingga tidak dapat dikatakan bahwa mengkategorikan gambar lebih mudah dan menguntungkan bagi individu  daripada kata-kata atau bahasa.
Berdasarkan perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, maka diajukan beberapa teori yang dikaitkan dengan representasi informasi didalam long-term memory (LTM). Seperti teori pengkodean ganda berasumsi bahwa terdapat dua system memori, satu untuk informasi spasial-visual dan dua untuk informasi ferbal (kata-kata). Dengan demikian, gambar-gambar diproses terutama didalam system memori visual, sedangkan kata-kata diproses kedalam system memori verb  Menurut teori proposisi konsepsual diasumsikan bahwa informasi fisual dan verbal disimpan dalam bentuk proposisi abstrak dan saling berhubungan. Dengan begitu, maka dalam menghadapi rangsangan yang masuk baik gambar maupun verbal tidak berbeda dalam kecepatan proses kategorisasi.
Perbedaan Individu
            Menurut pendapat Chauhan (1978), dalam pembentukan konsep-konsep antara individu satu dengan yang lain dapat berbeda, tergantung pada misalnya tingkat usia, intelegensi dan pengalaman masing-masing. Demikian juga menurut  pendapat Craig (1968) bahwa perbedaan strategi pemprosesan informasi termasuk belajar konsep sangat erat berhubungan dengan tingkat usia dan jumlah pengetahuan atau pengalaman yang relevan yang telah dimiliki. Juga hasil penelitian Phrem (1968) menunjukan bahwa penelitian verbal pendahuluan pada anak dapat mempengaruhi kemampuanya untuk melakukan transfer latihan dalam tugas-tugas belajar konsep dikemudin hari.

1 komentar:

  1. makasih ka buat pembahasannya tapi, referensi nya dari mana aja ya?

    BalasHapus